Pixel Codejatimnow.com

Warga Perak Surabaya Tuntut Penghapusan Pungutan HPL

Editor : Zaki Zubaidi  Reporter : Zain Ahmad
Warga Perak Surabaya menggelar demo di Perkampungan Jalan Teluk Nibung Barat, menuntut penghapusan uang pungutan rumah. (Foto : Rahman for jatimnow.com)
Warga Perak Surabaya menggelar demo di Perkampungan Jalan Teluk Nibung Barat, menuntut penghapusan uang pungutan rumah. (Foto : Rahman for jatimnow.com)

Surabaya - Puluhan warga Perak Surabaya menggelar unjuk rasa di perkampungan Jalan Teluk Nibung Barat. Mereka menuntut penghapusan uang pungutan yang disebut dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III terhadap ribuan persil rumah yang diklaim menjadi hak pengelolaan lahan (HPL) perusahaan tersebut, Senin (4/4/2022).

Dengan membentangkan poster perlawanan dan permohonan bantuan hukum ke Presiden, puluhan warga yang yang mewakili ribuan jiwa itu menuntut perusahaan tersebut agar tidak semena-mena terhadap rakyat kecil.

Diungkapkan Iren (58), salah satu pengurus perkumpulan warga pemilik bangunan di Perak, bahwa saat ini sudah ada 3.500 pemilik bangunan di Perak yang resah terhadap kesewenang-wenangan PT Pelindo III. Sebab, beberapa di antaranya bahkan dengan terpaksa dieksekusi tanpa melalui putusan pengadilan.

Hingga saat ini, gugatan konvensi dan rekonvensi sama-sama tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA).

"Ini adalah contoh kesewenang-wenangan. Bagaimana warga yang memilih tidak membayar dipaksa keluar rumahnya sendiri, tanpa ada putusan pengadilan. Ironinya polisi ada di situ," ungkap Iren kepada wartawan usai unjuk rasa.

Menurutnya, dari 3.500 persil bangunan, ditaksir ada 16 ribu jiwa yang saat ini dalam kegelisahan menanti status hak atas rumah yang mereka tinggali.

Iren pun meminta kepada Presiden Joko Widodo dan Menkopolhukam agar melihat tangis warga Perak yang dibebani pungutan mencekik selama puluhan tahun.

"Kami mohon Pak Jokowi dan Pak Mahfud MD, lihat rakyatmu Pak. Kami di sini dihantui rasa was-was, khawatir sewaktu-waktu rumah kami dibumihanguskan. Padahal, sebelum adanya HPL warga sudah lebih dulu membangun rumah mereka, ada pula yang punya akta jual beli notaris, PBB ruislah dan rumah dinas golongan III dan HGB," jelasnya.

Sementara Benyamin (68), warga Teluk Nibung Barat menjadi satu dari sekian warga yang sudah generasi ketiga hidup di tengah kegusaran tersebut mengatakan telah menempati sepetak rumah peninggalan dari ayahnya. Ia mengaku telah menempati rumah tersebut sejak tahun 50-an.

"Rumah saya sudah ada sejak tahun 50-an, saya hidup di sini dan tinggal di sini," ungkap Benyamin.

Baca juga:
Ratusan Warga Sidoarjo Geruduk Rumah Penjual Miras, Ricuh karena Dilempar Uang

Ia mengatakan bahwa rumah yang ia tinggali bersama keluarga kecilnya itu tak pernah ada masalah sebelumnya. Bahkan, ia taat membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) setiap tahunnya, dengan nilai sekitar Rp150 ribu.

Persoalan muncul ketika tahun 1988, Perum Pelabuhan III Persero yang kini menjadi PT Pelindo III mulai melakukan penarikan uang sewa dengan dasar hak pengelolaan lahan di kawasan tersebut.

Nilainya fantastis. Puluhan hingga ratusan kali lipat dari nilai PBB yang biasa dibayarkan.

"Sebagian warga dengan luas persil paling kecil kalau bayar PBB hanya di angka 150-an ribu. Nah, kalau tagihan HPL ini, nilainya sampai 4 juta rupiah," sebutnya.

Menurut Benyamin, dasar penentuan penarikan HPL oleh PT Pelindo III juga diniliai tak jelas. Mereka menaksir tarif tanpa dasar hukum atau aturan baku, sehingga nilai yang dipungut ditiap-tiap warga berbeda, meski luasannya sama.

Baca juga:
Warga Margourip Kediri Demo Tolak Truk Pasir, Jalan Rusak Hingga Memakan Korban

Jika tak membayar, para warga diancam akan dieksekusi paksa dan rumahnya bakal dirobohkan. Padahal, setiap tahun warga selalu tertib membayar PBB dan memilih tak membayar pungutan HPL karena nilainya menggila.

"Ini yang kami sebut sebagai intimidasi atau kesewenang-wenangan. Bayangkan, kalau warga yang kerjanya sebagai tambal ban, tukang kopi, sol sepatu, dipunguti sampai jutaan rupiah. Mereka ini makan apa. Hanya untuk sekedar hidup saja kami harus jungkir balik. Kok uangnya buat bayar sesuatu yang dasar hukumnya tidak jelas," tegasnya.

Uang-uang itu, lanjut Benyamin, ditagih kepada warga yang secara psikologis tertekan. Nilainya bervariasi, tergatung luas persil yang dimiliki.

"Belakangan ini memang banyak yang memilih tidak bayar. Sebagian sudah ada yang bayar karena takut. Perbedaan tarif juga dilakukan berdasarkan status pemilik rumah. Kalau PNS beda harga, kalau pengurus RT bahkan sempat dibebaskan dari pungutan," tandasnya.

"Saya yakin, Pelindo III boleh menutup mata, tapi Gusti Mboten Sare. Tuhan bersama orang-orang yang terzalimi," pungkasnya.