Pixel Codejatimnow.com

Apersi Minta Relaksasi Izin Pembangunan Rumah Subsidi dan Nonsubsidi

Editor : Narendra Bakrie  Reporter : Farizal Tito
Rakerda ke-VI Apersi Jatim di Golden Tulip Holland Resort Batu, Kamis (18/11/2021)
Rakerda ke-VI Apersi Jatim di Golden Tulip Holland Resort Batu, Kamis (18/11/2021)

Kota Batu - Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) meminta relaksasi izin pembangunan rumah subsidi dan juga rumah nonsubsidi.

Sebab peralihan dari Izin Membangun Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang merupakan bagian dari Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) ternyata belum bisa berjalan.

Ketua Umum DPP Apersi Junaidi Abdillah mengungkapkan bahwa Apersi terdiri dari 3.500 pengembang dan 300 anggota di Jatim. Banyak anggotanya mengeluhkan pembangunan mengalami stagnasi karena aturan perizinan tersebut.

Bahkan dia mensinyalir saat ini sudah terjadi kemandekan pasokan pembangunan rumah.

Menurut Junaidi, PBG merupakan amanat UU Cipta Kerja dan otomatis aturan IMB menjadi gugur. Sayangnya, saat ini pemerintah daerah belum siap dan tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.

"Kami harap akan adanya relaksasi PBG, apapun rekayasanya yang penting tidak melanggar hukum. Kalau ini tidak dilaksanakan perkiraan saya satu tahun setengah backlog kebutuhan rumah yang tidak bisa diproduksi," ungkapnya di sela Rakerda ke-VI Apersi Jatim di Golden Tulip Holland Resort Kota Batu, Kamis (18/11/2021).

Junaidi menambahkan, aturan di pemerintah pusat tidak mudah diterapkan di sejumlah daerah karena ada peraturan pemerintah daerah. Sehingga perizinan membutuhkan waktu lebih dari setahun karena perubahan aturan ini.

"Perda-nya belum ada. Hasilnya banyak anggota kami yang proyeknya tertunda. Untuk membuat Perda itu butuh waktu dan jika PBG belum bisa dilakukan maka produksi unit rumah atau pasokan akan terhambat," tegasnya.

Junaidi juga menyebut, kondisi perekonomian yang sudah membaik dan berjalan kondusif di tengah pandemi sejak awal tahun ini akan percuma.

"Sektor properti itu menggerakkan perekonomian dan memiliki efek domino yang mendorong sektor lain bergerak," tambahnya.

Baca juga:
Ponpes Kediri Tempat Santri Banyuwangi yang Tewas Dianiaya Ternyata Tak Berizin

Junaidi mengaku, anggota Apersi banyak yang kebingungan saat ini. Untuk itu Apersi berharap kepada lintas kementerian seperti Kementerian PUPR, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Kementerian ATR/BPN, Kementerian Investasi/BKPM yang mengurusi soal ini segera menyelesaikannya.

"Kita sebagai pengembang itu butuh kepastian, kepastian bisnis. Menurut saya, bukan hanya pengembang saja yang terganggu bisnisnya, perbankan pun akan terganggu realisasi penyaluran kredit KPR-nya," terang dia.

Smentara Ketua DPD Apersi Jatim, Makhrus Sholeh mengungkapkan banyak anggotanya yang mulai Agustus 2021 tidak bisa melakukan penginputan data perizinan karena data error dan ditolak.

"Kami berharap sistem OSS (Online Single Submission) PBG bisa direlaksasi. Jadi, masih ada jeda 6 bulan untuk transisi perizinan berjalan," urainya.

Permintaan relaksasi ini tak lepas dari backlog perumahan yang tinggi, sehingga kinerja menurun padahal permintaan per tahun meningkat.

Baca juga:
Pj Wali Kota Batu Dorong Pengusaha Lokal Ekspor Produk

"Anggota kami ada 332 pengembang dan hampir 80 persen ekspansi perizinan baru tidak jalan. Kami harap pemerintah pusat, kota dan kabupaten memberi solusi relaksasi perizinan," papar dia.

Sekjen DPP Apersi, Daniel Jumali menambahkan, Apersi hingga Oktober mampu menyumbang pembangunan rumah subsidi sebesar 60 persen atau sekitar 103.000 unit terbangun dari target pemerintah pada tahun 2021 sebanyak 178.728 unit rumah.

"103 ribu unit berarti kami dari Apersi membutuhkan dana lebih dari Ro 15 triliun. Dan ada lebih 177 sektor lain dari semen sampai ke Genteng yang terlibat," ungkapnya.

Menurutnya, di masa pandemi properti masih bisa mempekerjakan tenaga kerja sehingga jika ada penundaan pembangunan, maka akan berdampak pada banyak sektor.

"OSS sebetulnya bagus, tetapi di lapangan belum sinkron bisa menghambat izin masing masing pemda menunda. Pemerintah juga mengharapkan WFH tetapi tidak ada rumahnya bagaimana," tandasnya.