Pixel Codejatimnow.com

Kisah Keluarga Pasien (2)

Detik-detik Ibuku Dinyatakan Negatif Covid-19 hingga Tutup Usia

Editor : Narendra Bakrie  Reporter : Jajeli Rois
Ilustrasi/jatimnow.com
Ilustrasi/jatimnow.com

jatimnow.com - Setelah ibu mendapat rumah sakit rujukan pasien dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) Virus Corona atau Covid-19, aku dan keluargaku sedikit lega. Apalagi ketika dokter di rumah sakit itu menyatakan bahwa ibuku bukan pasien PDP, kami sangat bersyukur.

Namun, usaha dan kerja keras seluruh tim medis rumah sakit ini pada Sabtu (28/3/2020) dinihari, ternyata belum membuahkan hasil. Allah lebih menyayangi ibuku hingga ibu kembali ke pangkuan-Nya sekitar pukul 04.45 Wib.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ibuku sempat dimasukkan ke salah satu ruang isolasi di rumah sakit rujukan itu. Prosedur itu dilakukan tim medis atas dasar keterangan lebih dari PDP Covid-19 dari rumah sakit sebelumnya, yaitu Rumah Sakit MKS.

Tidak berselang lama, ibuku dikeluarkan dari ruang isolasi dan dipindah ke salah satu ruangan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Di ruang inilah kami mendapat penjelasan detail dari seorang dokter tentang Virus Corona.

Dalam obrolanku dengan sang dokter, aku menjelaskan apa adanya seperti keterangan yang aku dapat dari Rumah Sakit MKS, bahwa ibuku didiagnosa lebih dari PDP karena paru-parunya ada cairan serta ada infeksi bakteri atau virus.

Baca juga:  Diagnosa Lebih dari PDP Covid-19 untuk Ibuku Terbantahkan

Aku izin keluar untuk mengambil dokumen-dokumen dari Rumah Sakit MKS yang tersimpan di mobilku. Setelahnya aku menyerahkan dokumen itu. Sang dokter pun bertanya-tanya, kenapa hasil rontgen bentuknya lembaran kertas bukan dalam bentuk lembaran film. Rontgen paru-paru ibuku itu dipotret pada pukul 17.07 Wib, Jumat (27/3/2020).

Aku juga menunjukkan keterangan rontgen dari Rumah Sakit MKS. Dan dokter itu kembali terkejut, karena tidak ada penjelasan tentang pasien rujukan ini mengarah ke PDP. Dokter itu membaca keterangan dari hasil rontgen atau foto thorax proyeksi AP duduk dan menyampaikan penjelasannya ke aku.

"Pak, ibunya mengalami fracture. Ada patahan tulang dan mengena ke paru-parunya ibu, sehingga ibu mengalami sesak," ujar dokter itu.

"Lah ini kok pasien rujukan dikatakan PDP. Apa dasarnya," tanya sang dokter.

Aku kembali menjelaskan keterangan dari dokter Rumah Sakit MKS bahwa pada paru-paru ibuku ada cairan yang disebut infeksi virus atau bakteri. Sang dokter rumah sakit rujukan itu langsung menghubungi nomor telepon IGD Rumah Sakit MKS dan menanyakan apa dasarnya ibu didiagnosa PDP.

Dari pembicaraan ditelepon itu, aku mendengar sang dokter rumah sakit rujukan itu geram mendengar keterangan dari dokter jaga di Rumah Sakit MKS dan dokter itu menyudahi perbincangannya.

"Mohon maaf pak. Saya nggak suka kalau dibohongi. Tidak boleh sembarangan asal merujuk pasien. Kalau ada apa-apa pada pasien, nanti kami yang kena. Itu yang tidak kami inginkan pak," ucap dokter itu kepadaku.

"Kalau pasien bukan PDP, ketika dimasukan ke ruang isolasi nanti bisa menjadi PDP. Kan kasihan," keluh dokter itu.

Aku pun menyampaikan ke dokter, apa langkah selanjutnya untuk penanganan ibuku. Sang dokter akan me-rontgen kembali ibuku.

"Saya serahkan sepenuhnya ke dokter dan tim medis upaya apa saja yang terbaik untuk ibu saya. Kalau di-rontgen ulang monggo (silahkan) biar ada kepastiannya," jawabku.

Aku tidak tahu jam berapa ibukku dibawa ke ruang isolasi khusus pasien Corona. Karena yang menjaga ibuku di depan mobil ambulans adalah ketiga kakakku dan adikku. Sedangkan aku mengurusi administrasi dan berkomunikasi dengan dokter IGD.

Sang dokter kemudian meminta tim medis lainnya untuk menurunkan ibu dari ruang isolasi ke ruang IGD. Aku pun diminta dokter untuk menunggu di ruang tunggu. Aku keluar ruang IGD dan pelayanan. Sementara mobil ambulans dari Rumah Sakit MKS sudah tidak ada.

Kakak-kakakku dan adikku aku hubungi. Katanya mereka sudah berada di lantai tiga atau di depan ruang isolasi. Aku pun kembali menunggu di ruang tunggu hingga bertemu kakak-kakakku turun dari lantai 3. Aku melihat ibukku berada di salah satu ruang IGD itu.

"Mohon maaf yang berjaga satu orang ya," ucap seorang perawat.

Aku melihat kondisi kesehatan ibuku terus menurun. Dan kami, anak-anaknya bergantian masuk ke ruang di IGD. Ketika aku di luar ruang, dokter memanggilku dan meminta persetujuan kembali tentang rencana rontgen ibuku. Aku menyanggupinya dan menyerahkan sepenuhnya ke dokter dan tim medis.

Baca juga:
Pertemuan Mengharukan Ibu dan Anak yang Terpisah 37 Tahun

Dari hasil rontgen di rumah sakit rujukan Covid-19 ini, dokter menujukkan paru-paru ibuku yang terdapat fracture. Aku menanyakan bagaimana rontgen paru-paru pasien yang terpapar Covid-19.

Dokter itu dengan ramah menunjukkan perbandingan antara rontgen paru-paru ibuku dengan rontgen pasien yang terpapar Covid-19. Yang pasti perbedaannya sangat mencolok. Sang dokter menegaskan bahwa ibuku bukan pasien PDP atau tidak terpapar Corona. Ada beberapa tulang rusuk ibuku yang fracture (patah).

Aku bersyukur ibuku bukan pasien PDP. Karena sejak didiagnosa oleh dokter di Rumah Sakit MKS, aku selalu menyalahkan diriku sendiri dan berfikir apakah ibuku tertular dariku.

Karena yang serumah dengan ibuku adalah aku dan adikku. Sedangkan yang sering mengangkat ibuku dari tempat tidurnya ke kursi roda maupun ke kamar mandi untuk minta dimandikan sambil duduk adalah aku dan adikku.

Sudah sekitar 10 tahun ibuku terbaring di kamar tidur dan tidak bisa berjalan. Namun ibuku orangnya suka menjaga kebersihan, rasanya tidak enak kalau tubuhnya hanya diseka dengan air hangat. Setiap hari ibuku ingin dimandikan agar tubuhnya segar.

Waktu terus berjalan. Ibuku yang pada Sabtu dinihari itu terbaring di bed di salah satu kamar IDG terus menurun kondisi kesehatannya. Dokter dan tim medis sudah berupaya sekuat tenaga. Dokter memeriksa mata ibuku, katanya tidak ada respon sama sekali.

"Sebelumnya kami mohon maaf. Tidak ada respon dari ibu. Jangan menangis, silahkan membaca doa-doa," tambah dokter tersebut.

Untuk memastikan kembali kondisi ibuku, tim medis juga mengeluarkan alat rekam jantung. Hasilnya hanya garis lurus. Dan sekitar pukul 04.45 Wib, dokter menyatakan ibuku tutup usia. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Tangis pecah dari kakak-kakakku dan adikku.

Sang dokter lantas mengajakku bicara dan menyampaikan permohonan maaf, karena nyawa ibuku sudah tidak tertolong lagi.

Dan aku menyampaikan terima kasihku kepada dokter dan tim medis rumah sakit rujukan itu.

"Saya ikhlas dan mengucapkan terima kasih kepada dokter dan tim medis yang sudah berupaya semaksimal mungkin," kataku.

Baca juga:
Kisah Kesetiaan Sarang Semut dan Pohon Dewandaru yang Nyata di Banyuwangi

Mungkin ini sudah menjadi garis takdir ibuku. Di usianya yang sudah 70 tahun, ibuku dipanggil Allah. Meski begitu aku tetap bersyukur, karena ibuku bukan pasien PDP Covid-19. Ibuku tidak terpapar virus itu.

Atas dasar surat keterangan dari rumah sakit rujukan itulah, jenazah ibu kami bawa ke rumah duka di Sukomanunggal, Surabaya. Setelah dimandikan dan salatkan, jenazah ibu kami makamkan di pemakaman kampung, tentu dengan rukun dan cara seperti pemakaman umat muslim pada umumnya.

Bercerita sedikit tentang almarhum ibuku. Ibuku sudah 21 tahun mengalami sakit diabetes. Sudah selama itu pula ibuku merasakan beberapa sakit lainnya seperti otot kecetit hingga paru dan jantung.

Dan sejak Tahun 1992 ibuku didagnosa sakit diabetes. Sekitar Tahun 1997 aku sering mengantarkan ibuku rawat jalan di salah satu rumah sakit pemerintah daerah.

Karena menggunakan askes (asuransi pegawai negeri), maka setiap berangkat kontrol rawat jalan harus berangkat jam 05.30 Wib dan pulang dari rumah sakit sekitar jam 13.00 kadang jam 14.00 Wib. Sebab ketika berobat menggunakan askes, maka banyak berkas yang disiapkan maupun difotokopi.

Sekali minum obat, ibuku harus menelan 15 hingga 18 butir. Mungkin dulu sering minum obat sehingga ginjal ibuku terdampak. Sekitar Tahun 2010, ibuku sudah tak mampu berjalan. Sudah ratusan kali terapi di rumah sakit, tetapi tidak membuahkan hasil.

Sekitar Tahun 2012, ibuku disarankan oleh dokter untuk cuci darah atau hemodialisis (HD). Ketika dibawa ke berbagai rumah sakit, ibuku tidak mau HD di rumah sakit lain kecuali ke Rumah Sakit MKS. Sejak itulah ibuku menjadi 'pasien tetap' di Rumah Sakit MKS yang justru mendiagnosa ibuku lebih dari PDP.

Umik, begitu kami memangil ibu, sekarang sudah tidak sakit lagi. Umik sekarang sudah sembuh. Umik sekarang bahagia di sisi Allah. (Bersambung)

 

Penulis adalah wartawan jatimnow.com