Pixel Codejatimnow.com

Opini

Pilwali Surabaya 2020, Machfud Arifin-Mujiaman Lebih Diuntungkan

Editor : Redaksi  
Balai Kota Surabaya (Foto: Dok. jatimnow.com)
Balai Kota Surabaya (Foto: Dok. jatimnow.com)

jatimnow.com - Terwujudnya pemerintahan yang baik terjadi manakala terdapat sebuah sinergi antara swasta, rakyat dan pemerintah sebagai fasilitator, yang dilaksanakan secara transparan, partisipatif, akuntabel dan demokratis.

Agar terealisasi dengan tujuan nasional, diperlukan kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan pemerintah untuk menangkal kebijakan yang diambil penuh dengan nuansa kepentingan pribadi dan golongan dan kelompok agar tidak terjadi Aboused of Power atau penyalahgunaan kekuasaan.

Tahun 2020, masyarakat Indonesia disibukan dengan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tengah Pandemi Covid-19. Transparansi dan keterbukaan informasi dalam pelaksanaan pilkada serentak menjadi indikator utama sekaligus penentu pelaksanaan pemilu dengan baik.

Bagaimana dengan Pilihan Wali Kota (Pilwali) Surabaya 2020?

Apalagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan revisi aturan yang melarang kampanye dengan cara menciptakan kerumunan massa seperti rapat umum dan konser musik serta membatasi pertemuan tatap muka.

Diketahui bahwa Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, sekaligus kota terbesar di Indonesia setelah DKI Jakarta. Luas wilayah Surabaya seluruhnya tercatat 326,81 kilometer persegi. Jumlah penduduknya dari hasil registrasi Tahun 2019, tercatat sebanyak 3,15 juta jiwa.

Mayoritas penduduk Surabaya beragama Islam yaitu sebanyak 2,7 juta, 280 ribu Protestan, 123 ribu Katolik, 53 ribu selanjutnya beragama Hindu, Buddha, Konghucu dan agama lainnya.

Mayoritas penduduk Surabaya adalah suku Jawa sebanyak 83,68 persen, suku Madura 7,5 persen, Tionghoa 7,25 persen dan Arab 2,04 persen. Sub kultur Surabaya terdiri dari Nahdliyin, Arek dan Madura (religius, guyub, kultur pesantren, paternalistik, nasionalis) terdiri dari NU struktural dan kultural.

Masyarakat Surabaya harus berpikir lebih bijak lagi untuk menentukan siapa sosok yang paling pas memimpin Kota Surabaya nanti.

Apakah sosok Eri Cahyadi dianggap paling pas meneruskan gaya kepemimpinan Wali Kota Tri Rismaharini (Risma)?

Eri dinilai memiliki gaya kepemimpinan seperti Risma. Hampir mirip dengan Risma yang sebelumnya kenyang dengan jabatan karier abdi negara di Surabaya.

Terakhir, Eri diketahui merupakan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya. Ia pun disebut sebagai birokrat yang paling dekat dengan Risma, sehingga dianggap memahami program dan kinerja wali kota Surabaya dua periode itu.

Sebagai perempuan pertama yang menjadi wali kota Surabaya, tentu menjadi strong point popularitas Risma sebagai wali kota. Kepemimpinan bergaya transformatif dan komunikasi secara transparan, serta bergaya khas 'Arek' berhasil mengubah lingkungan kerja, motivasi pekerja, pola kerja dan nilai-nilai kerja atau etos kerja ke arah good governance.

Ketegasan dan 'kecerewetannya' yang viral di saat menegur suatu perusahaan yang merusak Taman Bungkul menjadikan Risma popular dengan gaya kepemimpinannya yang khas Arek Suroboyo. Itulah gaya kepemimpinan Risma, bukan Eri.

Di sisi lain, kelemahan Risma juga menjadi sorotan publik, karakter yang cenderung meledak-ledak di depan publik seringkali tidak patut dipertontonkan.

Risma akan berlebihan jika sudah menyangkut partainya, reaksinya kepada calon independen (nonpartai) sebagai 'haus jabatan' dan kritikannya tentang sampah di DKI terkesan subjektif dan kurang elok sebagai sesama kepala daerah.

Bukannya tanpa celah dan kritik. Walaupun ekonomi tumbuh 7,6 persen di Tahun 2019 (di atas rata-rata yang hanya 5,4 persen), tapi kesenjangan sosial semakin mengangah di Kota Surabaya.

Seperti halnya di tingkat nasional, Surabaya dibangun oleh para taipan. Masalah banjir dan reklamasi pantai timur menjadi diskusi warga Surabaya. Protes paling keras karena Risma tidak berhasil mempertahankan rumah Bung Tomo (cagar budaya atau heritage) dari cengkeraman pengusaha properti.

Gaya kepemimpinan yang emosional, tegas dan otoriter yang ditonjolkan menjadi ciri khas Risma memimpin Surabaya. Terkesan negatif jika berbasis norma kepemimpinan secara nasional.

Namun dengan gaya servant leader yang optimal dalam melayani publik, seluruh kelemahan Risma tertutupi, walau tidak bernilai excellent, cukup dan mendekati baik.

Terkesan Risma apolitis dan hanya mendukung dan menjalankan misi partai secara politis. Hal ini bertolak belakang dalam servant leader yang menjadi ciri dirinya untuk pembangunan Surabaya. Apakah ini yang diharapkan oleh masyarakat Surabaya?

Banyak pekerjaan rumah Risma yang belum tuntas, salah satunya yang cukup berat adalah sertifikat hijau atau ijo. Tuntutan legalitas dari rakyat Surabaya terhadap hak atas tanah negara yang sudah ditempati sekian lama.

Risma belum mampu menyelesaikannya. Infrastruktur yang terpusat di tengah kota sehingga tidak terlaksana pemerataan pembangunan, tingkat kesenjangan sosial juga tinggi.

Dan kasus tanah olor yang sampai sekarang masih menjadi polemik, garis pantai di wilayah Surabaya timur kalau dilihat dari atas maka akan berkelok-kelok tidak lurus.

Baca juga:
Machfud Arifin Ikhlas dan Doakan Eri Cahyadi-Armudji

Hal ini seolah sengaja dibuat agar ada sisa tanah yang menjorok ke laut, kemudian digunakan untuk pengembangan permukiman. Diduga banyak pengembang besar yang sengaja atau tidak sengaja memanfaatkannya.

Bahkan publik Surabaya traumatik dengan hilangnya rumah Bung Tomo untuk pembangunan properti dan care terhadap cagar budaya. Heritage adalah roh dan jiwa yang patriotik ciri arek yang menjadi tulang punggung penggagalan upaya Belanda membatalkan kemerdekaan Republik Indonesia di PBB Tahun 1945.

Machfud Arifin-Mujiaman Lebih Diuntungkan

Kondisi objektif politik nasional dalam konteks pemilu atau pilkada terbentuk pasca Pilkada DKI 2016, sentimen Islam pendukung kandidat non-PDIP. Hal itu berlanjut ketika Pilpres 2019 antara Joko Widodo (PDIP) vs Prabowo.

Fenomena gerakan 212, FPI, isu PKI, kegagalan pemerintah dalam mengelola ekonomi dan Covid-19 identik dengan kegagalan PDIP sebagai parpol utama pendukung Joko Widodo.

Momentum ini potensi dan peluang bagi kubu kandidat Machfud Arifin (MA) dan Mujiaman Sukirno (MS).

Sentimen politik nasional terjadi juga di Pilwali Surabaya 2020 karena PDIP dikeroyok oleh 8 parpol parlemen. Pasangan Machfud Arifin-Mujiaman harus bisa menganalogkan diri sebagai posisi pasangan yang dikehendaki rakyat (aspiratif).

Momentum politik dari kondisi objektif politik di atas harus dimanfaatkan optimal oleh Tim Sukses MA dan MS, dalam program kampanye untuk mendulang suara.

Kegagalan Tri Rismaharini (PDIP) dalam penanganan Covid-19 adalah amunisi karena Eri Cahyadi (EC) dan Armudji (A) adalah penerus Tri Rismaharini. Membangun popularitas dan elektabilitas MA dan MS lebih mudah jika memahami sentimen rakyat Surabaya (non-PDIP) yang dominan bersentimen negatif terhadap Tri Rismaharini.

Pasangan MA MS pada tahap awal menentukan positioning politik sebagai representasi publik Surabaya melawan PDIP. Identifikasi mewakili publik menjadi strategi dasar dalam sosialisasi awal untuk optimalisasi popularitas dalam Pilwali Surabaya 2020.

Dukungan di parpol (parlemen) adalah bukti bahwa pasangan MA-MS diterima oleh semua elemen parpol (nasionalis dan Islam). Hal ini harus diartikulasikan secara artikulatif dan tetap secara soft campaign.

Kapasitas dan kapabilitas pasangan ini lebih baik karena perpaduan kepemimpinan dari Machfud Arifin dan entrepreneurship dari Mujiaman menjawab tantangan Surabaya di era Covid-19 ini yang fokus pada pemulihan ekonomi.

Baca juga:
Kuasa Hukum MAJU Sayangkan Dana Kampanye Erji Nol Rupiah Tak Ditindak

Elektabilitas MA-MS akan semakin optimal dengan strategi kampanye ala Covid-19 (yang sudah dilakukan sebelum masa kampanye) kampanye online (daring) dan media massa.

Diperlukan strategi yang efektif dan efisien dalam kampanye. Memanfaatkan keunggulan teknologi sebagai basis media kampanye.

Positioning pasangan MA-MS memformulasikan diri sebagai representasi warga Surabaya untuk menghadapi Eri-Armudji didukung PDIP yang diidentifikasi sebagai common enemy (musuh bersama) untuk langsung memperoleh simpati publik (secara tertutup).

Kandidat pengganti Risma dibebani situasi yang tidak kondusif secara ekonomi, yang tentu berdampak pada manusia maupun ketaatannya pada hukum. Sementara dengan dominannya penduduk berusia muda menjadi tantangan tersendiri.

Apakah memperoleh bonus demografi atau musibah secara demografi di masa mendatang?

Kepemimpinan berkarakteristik solidarity maker diperlukan jika keadaan tidak kondusif. Bagaimana menyatukan visi dan misi pengusaha dan publik Surabaya agar bahu-membahu melewati krisis yang akan terjadi.

Berbekal pendidikan militer, Machfud Arifin dianggap mempunyai jiwa Arek, ciri khas masyarakat Surabaya. Spirit pahlawan menjadi ciri pembeda kepemimpinan di Surabaya, jiwa patriotik oleh nasionalisme harus menjadi karakteristik yang dipadu dengan kecerdasan berbasis teknologi (smart city).

Surabaya sebagai pionir penerapan e-government (terbuka) dan terukur dengan publik kritis dan meledak-ledak harus menjadi referensi utama kandidat pengganti Risma di Pilwali Surabaya 2020.


Catur Prasetya

Wartawan Muda Surabaya

*jatimnow.com tidak bertanggung jawab atas isi opini. Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis yang seperti diatur dalam UU ITE