Pixel Codejatimnow.com

Ramadan Now

Jumatan Dua Gelombang di New York

Editor : Redaksi  
ilustrasi
ilustrasi

Oleh: Wahyu Muryadi

SECARIK kertas putih yang ditempel dengan selotip di pintu bangunan "masjid" di Manhattan, New York City, Amerika Serikat, pada Jumat kedua Ramadan itu sungguh menarik perhatian saya. lsinya berupa pengumuman: There are 2 jamaat for the Friday Jum'ah, dan seterusnya. Disertai keterangan jadwal dan jatah waktu dalam salat Jumat dua gelombang itu.

Salat Jumat dua gelombang? Asyik, pikir saya, bercampur kaget. Waiau sebagai musafir, yang mendapat dispensasi ibadah, tapi saya ingin menikmati salat Jumat model begini di negeri seberang. Kapan lagi bisa Jumatan di negara pusat keuangan dunia, bahkan kampiun kapitalisme global dalam suasana Ramadan. Sungguh pengalaman keagamaan yang menarik.

Saya lalu menimbang-nimbang sebaiknya ikutan skedul yang mana. Akhirnya kloter kedua yang saya pilih. Saya sengaja mengalah ikut giliran berikutnya sambil tengak-tengok suasana di luar dan dalam. Mungkin karena sebagai reporter, saya refleks saja mereportase suasana sekitar. Siapa tahu bisa dijadikan bahan tulisan. Saya tergerak ingin tahu dan mendeskripsikan interior bangunan yang disebut "masjid" itu.

Jangan bayangkan ada menara dan kubah. Apalagi loudspeaker atau pelantang yang dipasang untuk mengumandangkan azan. Berbeda dengan kubah yang saya dengar dibangun di Masjid Islamic Cultural Center atau Masjid AI-Hikmah di kawasan Queens, New York, rumah ibadah favorit orang Indonesia. Masjid Islamic Society of Mid Manhattan (ISMM) ini hanyalah gedung tua berlantai tiga.

Saya ikut antrean panjang bersama puluhan anggota jemaah lain yang bergerombol di dekat restauran kebab Omar, yang pada siang hari bolong saat puasa Ramadan itu tetap buka dan ramainya minta ampun. Jika dilihat dari raut muka dan potongan para jemaah sepertinya mereka berasal dari Asia Tengah, Asia Selatan, Afrika, dan negeri bekas Uni Soviet.

"Masjid" di 55th Street ini saya pilih karena letaknya hanya seratusan langkah dari hotel tempat saya menginap di Lexington Avenue. Saat Ramadan tahun 2017 itu, saya berada di New York atas undangan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. la menjadi tamu penting di Ocean Conferrence yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Lantai ruang utama "masjid" ditutup karpet merah yang membuat saya bersin-bersin. Kotak infaknya dari plastik bekas, tempat perkakas yang diedarkan dari tangan ke tangan seperti di Tanah Air. Khatib berpesan tentang perlunya bersyukur atas semua nikmat dan karunia yang diberikan Allah SWT. Karena itu, ia mengingatkan jangan lupa menyucikan harta melalui zakat yang kategorinya bermacam-macam. Khotbahnya, yang diperdengarkan memakai pelantang dalam dengan kualitas jernih, rada bertele-tele.

Senyampang mendengar khotbah, pikiran saya melayang ke masa silam. Jumatan dua kloter ini, sepengetahuan saya, belum pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW, era para sahabat (salafus shalih) hingga abad ke 20 Masehi. Tidak ada dalil naqly yang disebutkan secara spesifik dalam Quran. Pula, belum tercatat dalam enam kitab hadis yang sahih atawa kutubussittah. Alhasil, tidak ada rujukan yurisprudensinya.

Kendati begitu, pendapat atau fatwa hukum bisa saja ditarik, lalu ditetapkan melalui fatwa. Dalam fiqh diistilahkan istinbath al ahkam, istinbath jama’i, atau katakanlah para ulama masa kini lalu berijtihad secara kolektif kolegial. Umumnya ulama zaman now sepakat: tidak boleh menegakkan dua kali Jumatan dalam satu masjid yang sama.

Ada juga pendapat lain yang berbeda. Biasa, lazim dalam fiqh yang memang membuka ruang bagi perbedaan sikap dalam merespon kekosongan hukum yang belum diputuskan Nabi. Maka itu bukan mustahil ada saja ulama yang berpendapat "boleh dilakukan" atau dikecualikan dengan syarat jika ada udzur syar'i atau ada halangan yang bisa dibenarkan hukum. Misalnya, jumlah masjid terlampau sedikit, sehingga tak mampu menampung umat yang membludak.

Bisa juga lantaran sebab lain: pandemi Covid-19. Guna mencegah penularan selama masa pageblug via klaster masjid, maka kapasitasnya dikurangi separohnya. Menghindari mudarat ini jemaah harus saling menjaga jarak, sehingga terpaksa dilaksanakan Jumatan kedua.

Langkah berani inilah yang ditempuh Dewan Masjid Indonesia. Guna menghindari penularan Covid 19 melalui klaster masjid, maka ormas peduli masjid yang dipimpin oleh mantan Wapres Muhammad Jusuf Kalla itu menerbitkan panduan pengaturan jamaah Salat Jumat dua gelombang.

Baca juga:
Aktivitas Trading Aset Kripto Meningkat di Momen Ramadan 2024

Salat Jumat diatur secara bergiliran berdasarkan nomor henfon ganjil genap jamaah. Atau posisi lantai kantor jika jemaah bekerja di gedung bertingkat. Surat diteken JK dan disebarluaskan pada 16 Juni 2020.

JK mengilustrasikan akibat buruk yang bisa saja terjadi jika Jumatan tumplek-blek sampai ke jalan.Tempatnya tak steril. Jika ada jemaah yang terkena covid lalu meludah ke jalan dan mengenai sajadah yang digelar di jalanan, bisa menular. Berabe bin gawat. lni bisa dibilang argumentasi berdasar dalil aqly.

Berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia Pusat. Ormas Islam ini memilih pendapat yang pertama, yang ketat--mungkin juga kaku. Fatwa MUI yang diputuskan melalui Musyawarah Nasional VI di Jakarta pada 28 Juli 2000 lalu itu menetapkan: Jumatan dua gelombang di tempat yang sama pada waktu berbeda hukumnya tidak sah, meskipun terdapat udzur syar'i. Pokoknya, tidak boleh, dan tidak sah. Titik.

Rujukannya diambil dari sejumlah ayat Quran tentang hukum asal dalam ibadah yang harus mengikuti ketentuan syariat (tauqif). Plus ikut petunjuk dan contoh yang diberikan Nabi Muhammad SAW atawa ittiba. Dijadikan pertimbangan pula sejumlah dalil yang menghukumi Salat Jumat fardu 'ain, kewajiban mutlak yang tak bisa diwakilkan.

Fatwa yang diteken Ketua MUI Umar Shihab dan Sekretaris Dien Syamsuddin itu juga menyitir pendapat ulama pengikut imam mazhab yang empat: Hanafi, Syafi'i, Maliki, Hanbali. Singkat kata, begitu pendapat ulama mazhab arba'ah, sebagaimana disebutkan MUI, barangsiapa yang tidak dapat melaksanakan salat Jumat hanya diwajibkan menunaikan salat Zuhur.

MUI juga mengutip berita koran Al Jumhuriyah yang terbit di Mesir, edisi 7 April 1955. Surat kabar itu mengutip fatwa (sayang tak dijelaskan siapa nama ulama atau nama organisasinya) kewajiban perempuan salat Jumat yang dilakukan sebelum Jumatan kaum pria. Pendapat ini ditentang keras ulama kondang saat itu, Syaikh Mahmud Syaltut. Teolog dan Rektor Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini menganggap hal itu sebagai tasyri' atawa penetapan hukum yang tidak diizinkan Allah SWT.

Bagaimana dengan di Indonesia? Fatwa MUI ini bisa saja klop untuk dijadikan acuan. Kondisi dan konteks di Republik memang berbeda dengan di negara lain yang muslimnya minoritas, apalagi masjidnya terbatas. Meski kaum muslimin yang Jumatan di seantero negeri meluber, tapi bukankah jumlah masjid yang tersedia juga sangatlah banyak. Jadi, tak ada alasan membikin dua gelombang atau lebih.

Baca juga:
Ramadan 2024, DPRD Surabaya Ajak Warga Limpahkan Syukur dan Berlomba Kebaikan

Bagi yang mau mengikatkan diri dengan fatwa MUI ini silakan. Tafaddal. Bagus-bagus saja. Bagi yang menanggapnya sebagai hasil konsensus rame-rame yang tidak mengikat, atau sejalan dengan keputusan Dewan Masjid Indonesia, sehingga memilih berpegangan pada fatwa diperbolehkannya Jumatan lebih dari satu gelombang karena udzur syar'i juga monggo. Sami mawon.

Bagaimana jika suatu negeri masjidnya terbatas, sedangkan antrean umatnya mengular? Kalau jemaahnya sampai meluber di jalanan, di negara manca bisa kena pasal karena mengganggu ketertiban umum. Di masa pandemi barusan, kata Pak JK, lnggris bahkan sampai memberlakukan Jumatan tiga gelombang.

Dus, tampaknya Jumatan saya di Manhattan itu, kalau menurut fatwa MUI, cuma diganjar melandai senilai salat Lohor. Tak jadi soal. lngat sabda masyhur Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim: yassiru wala tu'assiru, bassiru wala tunaffiru. Makna hadis sahih itu lebih-kurang begini: permudahlah, jangan kau persulit, gembirakanlah jangan (agama) membuat mereka lari.

Jangan salah faham. Bukan berarti saya mau enaknya saja, atau semau gue. Terus-terang, saya memang cenderung rileks dalam beribadah. Dalam arti, tak mau bikin perhitungan njelimet dengan Sang Khalik. Saya malas membawa kalkulator untuk menghitung-apalagi menuntut- seberapa banyak ganjaran wal pahala yang saya dapatkan dalam urusan ibadah.

Terserah Gusti Allah ...

*) Penulis adalah jurnalis senior