Pixel Codejatimnow.com

Opini

Nasib Politik Pasca Masa Marxisme Ernesto Laclau

Editor : Redaksi  
Fitranda Azzimaryazza
Fitranda Azzimaryazza

jatimnow.com - 'constitutes the ultimate ontological horizon of human construction and discourse' (Laclau, 1990).

Pengartian subjek politik dalam pasca-Marxisme sangat berbeda dengan Marxisme. Subjek politik di dalam pasca-Marxisme direpresentasikan melalui subjek emansipatif yang akan membawa politik emansipasi.

Perdebatan-perdebatan ontologis antara Marxisme dan pasca-Marxisme tersaji di dalam isi pemikiran laclau melalui bacaan ini.

Secara lebih spesifik, pasca-Marxisme Laclau memadukan budaya psikoanalisis Lacan yang digunakan untuk mengartikan kerentanan subjek bahwa ia tidak pernah dalam keadaan penuh,dan pasca-strukturalisme Derrida yang digunakan untuk melakukan dekonstruksi atas tradisi-tradisi Marxisme strukturalis.

Penggunaan dua tradisi tersebut tidak hanya berpengaruh pada pengartian atas subjek, ia juga berpengaruh terhadap perdebatan metode dalam melakukan emansipasi.

Latar belakang Ernesto Laclau

Ernesto Laclau lahir di Buenos Aires, Argentina, pada tahun 1935.

Laclau menyelesaikan studi pada tahun 1964 dari University of Buenos Aires. Semasa mahasiswa Laclau aktif dalam gerakan mahasiswa di Argentina, dan beliau turut serta menjadi presiden di dewan mahasiswa Fakultas Filsafat dan Sastra, dan juga perwakilan mahasiswa dari faksi kiri di Senat Universitas.

Pada tahun 1966, Laclau mendapat beasiswa untuk mengajar di University of Tucuman, namun akhirnya gagal karena adanya kudeta militer pada tahun itu.

Tahun 1958, Laclau bergabung dengan Argentine Socialist Party (PSA), dan pada tahun 1963 menjadi salah satu pimpinan Socialist Party of the National Left (PSIN).

Namun, bagi Laclau, keutamaan PSIN pada pendekatan reduksionis-kelas (class reductionist) justru menghalangi pemahaman mengenai bangkitnya fenomena massa, yang dengan jelas diekspresikan dalam bangkitnya Peronisme.

Lalu Laclau memutuskan keluar dari PSIN pada tahun 1968 karena semakin meningkatnya pertentangan dengan kebijakan-kebijakan dan garis politik PSIN.

Pada tahun-tahun itulah Laclau mulai mempelajari Gramsci dan Althusser, yang di dalamnya ia temukan konsep-konsep pokok seperti 'hegemony' dan 'overdetermined contradiction', yang membantunya untuk membangun jarak yang semakin meningkat dari tendensi class-reductionist yang dominan dalam Marxisme mainstream.

Pada tahun 1969, Laclau mendapatkan beasiswa untuk mengkuti program doktoral di St Antony’s College, University of Oxford dan juga di University of Essex.

Di University of Essex, Laclau mengembangkan teori dan analisa discourse, dan membuka program studi Ideology and Discourse Analysis, di mana ia mengajar sampai hari ini.

'Subjek Politik' dalam pasca-marxisme Ernesto Laclau

Bacaan ini mengulas tentang bagaimana 'Subjek Politik' diartikan dalam pasca- marxisme Ernesto Laclau. Dalam tradisi Marxisme struktural, batas subjek telah dengan jelas dipisahkan melalui kondisi materiil Subjek –artinya penguasaan alat produksi menjadi basis antagonisme dalam tradisi marxisme.

Dengan demikian, subjek didefinisikan secara deterministik melalui posisi siap yang menindas dan siapa yang ditindas. pengartian subjek politik dalam marxisme secara 'tetap dan penuh' didasarkan pada ketertindasan ekonomi.

Baca juga:
Pentingnya Growth Mindset bagi Humas

Subjek yang tertindas secara 'tetap' ditentukan melalui posisi antagonistik yang 'jelas dan tidak berubah'. Marxisme membagi subjek berdasarkan posisi ketertindasan dan basis materiil yang ada di dalam dirinya.

Dua kelas yang secara tetap, objektif, dan menyejarah adalah proletar dan borjuis. Proletar bagi mereka yang ditindas, tidak memiliki akses terhadap sumber daya, dihisap tenaganya, dan lainnya. Sementara, borjuis adalah mereka yang memonopoli sumber daya dan menghisap tenaga kerja.

Pengaruh subjek politik marxisme dengan kehidupan politik sekarang

Pada pembagian subjek berdasarkan kelas tersebut,yaitu proletar dan borjuis,posisi antagonisme menjadi saling bertarung. Jika tidak ada pertarungan kelas,maka hegemoni lah yang akan berjalan.

Dan posisi sedemikian rupa dapat mengakibatkan antagonisme antar subjek yang mengakibatkan relasi zero sum game atau relasi yang bersifat meniadakan subjek lain yang berbeda dengannya.

Hal ini bisa kita ambil contoh dari kejadian pilpres 2019 lalu. Julukan-julukan 'Cebong', 'Kampret', 'Cebi IQ Sekolam', 'Sahabat Gurun', dan lainnya menjadi awal pemantik untuk meniadakan identitas lain.

Misalnya, 'Cebong' akan meniadakan relasi dengan 'Kampret', karena kampret dianggap sebagai orang yang mengidamkan 'Khilafah Islamiyah'.

Sementara, 'Kampret' meniadakan relasi dengan 'Cebong' karena dianggap sebagai orang yang sekular. posisi antagonistik tersebut antar pendukung yang merepresentasikan keduanya berasal dari populisme kanan.

Pendukung Prabowo dicitrakan sebagai populisme kanan dengan politik identitas berbasis agama.

Baca juga:
Blended Learning Stikosa-AWS, Misi Pendidikan Tinggi Berstandar Internasional

Sementara, pendukung Jokowi dicitrakan sebagai populisme kanan dengan politik identitas berbasis 'nasionalisme'. Pada titik yang paling tinggi, kedua populisme kanan itu mencoba untuk meniadakan identitas lain.

 


Penulis adalah:

Fitranda Azzimaryazza

Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Inggris
(Angkatan 2019)
Universitas Airlangga Surabaya

 

 

*jatimnow.com tidak bertanggung jawab atas isi opini. Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis yang seperti diatur dalam UU ITE