Pixel Codejatimnow.com

Opini

Sikap Permissif dan Tidak Sensitif Korban di Kasus SMP Purbalingga

Editor : Redaksi  
Kadivwasmonev Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra.
Kadivwasmonev Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra.

jatimnow.com - Peristiwa kelam yang di pendam selama 10 tahun (2013-2021) oleh 7 siswi SMP Purbalingga akibat aksi rudapaksa Guru AS (32) di kelas akhirnya terungkap. KPAI sangat mengapresiasi kepada masyarakat yang berani melapor Kepolisian. Masyarakat dan korban harus jadi pelopor dan pelapor dalam menghentikan anak-anak korban kejahatan seksual.

Bayangkan, kalau tidak ada pelapor atas kasus AS, maka kita tidak bisa menghentikan aksi biadabnya, yang akan meregenerasi membunuh jiwa anak-anak didiknya tiap tahun.

Dan ketika tidak ada yang menjadi pelopor dan pelapor, maka tidak pernah tahu kondisi korban sebenarnya. Tentu seperti menunggu barisan peristiwa getir yang sewaktu-waktu akan dialami setiap korban korbannya, yang mengancam jiwa dan nyawa karena tidak terungkap dan tidak ada yang melapor. Seperti kasus kejahatan seksual kepada NWR di Surabaya.

Kepolisian mengungkap kasus tersebut diketahui karena adanya laporan masyarakat. Dalam konpers kepolisian menyampaikan latar belakang kejahatan seksual karena terpapar pornografi terus menerus dan kondisi rumah tangga. Tentu saja alasan apapun dari pelaku sangat tidak bisa diterima.

Dengan kondisi 7 anak korban kejahatan seksual yang terus mengalami pembunuhan karakter, penguasaan korban atas otoritas sebagai guru. Yang dapat berdampak semakin buruk kepada anak-anak, seperti gangguan perilaku, gangguan kejiwaan dan dihantui seumur hidup trauma. Akibat tekanan relasi kuasa yang harus di bawa seumur hidup dan tidak terungkap.

Di sisi lain, KPAI menyayangkan implementasi dan semangat deteksi dini kekerasan dalam Permendikbud 82 tahun 2015 tentang Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan masih sangat jauh dari sekolah yang menjadi tempat kejadian perkara, dengan memperhatikan peristiwa, TKP di area publik lingkungan sekolah.

Setidaknya ada berbagai catatan yang perlu di evaluasi Dinas Pendidikan dan Kemendikbud kepada sekolah, sesuai isi Permendikbud 82 mulai dari aspek pencegahan, referral, penanganan dan program peningkatan SDM Guru. Yang harusnya di terjemahkan dalam berbagai SOP yang menjadi kebutuhan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.

Karena dari peristiwa 10 tahun uang kelam tersebut, penting sekolah segera merespon dan menyampaikan ke publik, apa yang akan menjadi rencana perbaikan dalam rangka pencegahan peristiwa serupa.

Sehingga diharapkan sekolah dapat lebih terbuka terkait keamanan anak-anak di sekolah. Agar kebijakan Kemendikbud terkait penanggulangan kekerasan dapat diimplementasikan dengan baik di sekolah sebagai TKP.

Sekolah perlu di perkenalkan berbagai kebijakan SafeChild Guarding (Kebijakan Perlindungan Anak) agar dapat melakukan secara mandiri bersama komunitas belajarnya dalam mendukung keamanan anak selama proses penyelenggaraan pendidikan. Seperti tidak membiarkan anak hanya bersama guru sendirian dalam waktu pelajaran yang panjang, dan selama 10 tahun.

Baca juga:
Pentingnya Growth Mindset bagi Humas

Begitu juga berbagai nama program peningkatan kompetensi guru yang memberi insentif, juga menuntut asesmen lanjutan lebih dalam kondisi para guru, karena punya tujuan kepada kualitas SDM guru. Seperti pelaku AS yang memiliki permasalahan dalam melaksanakan pengajaran dan masalah rumah tangga, sama sekali tidak terdeteksi secara SOP ataupun sistem. Agar aspek kerentanan bisa diantisipasi dalam rencana rencana sekolah dalam durasi panjang 10 tahun mencegah kejahatan seksual.

Sepertinya sekolah harus memilki sensitivitas kepada para korban, belajar dari kondisi TKP, yang membuat pelaku leluasa selama 10 tahun melakukan kejahatan seksual kepada anak anaknya. Agar tidak terulang.

Dengan kepolisian menerima laporan dari masyarakat, tapi tidak langsung dari anak-anak yang menjadi korban, juga menandakan pentingnya sekolah memiliki tempat yang aman, nyaman, terpercaya untuk anak melapor.

Tim penanggulangan kekerasan sebagaimana mandat Permendikbud 82 penting menjalankan tugasnya. Agar anak-anak sejak dini tahu kemana harus melapor, memiliki figur yang di percaya untuk melapor, ataupun ada tempat yang di rasa anak aman dan nyaman untuk melapor.

Kami juga mengingatkan, pentingnya payung satu atap dalam gugus tugas penanganan anak korban kejahatan seksual. Karena dari pengalaman, pelaku oknum guru bisa melakukan perbuatan kejahatan seksual yang sama di sekolah lainnya. Begitu pun para korban, yang pindah sekolah, namun berpotensi menjadi korban lagi. Akibat pelaku masih bisa melakukan di lembaga pendidikan lainnya.

Baca juga:
Blended Learning Stikosa-AWS, Misi Pendidikan Tinggi Berstandar Internasional

Dari peristiwa para korban kejahatan seksual dan para penyintas, bahwa hukuman mati akibat kejahatan seksual, telah dijalani dengan bunuh diri oleh para korban sejak lama, sedangkan hukuman pelaku seumur hidup. Artinya kejahatan seksual memberi daya rusak luar biasa kepada kejiwaan para korban, sampai memilih bunuh diri karena gangguan panjang yang menghantui selama hidup.

Sebelumnya ada pro-kontra tentang hukuman mati untuk pelaku kejahatan seksual. Namun kita juga apresiasi tuntutan hukuman seumur hidup untuk para pelaku kejahatan seksual, yang menandakan pelaku akan menjalani masa pidana hukuman selama hidupnya melalui program program di lembaga pemasyarakatan.

Namun di sisi lain kita masih dihadapi dengan penanganan para korban yang penanganannya terlalu pendek, durasinya tidak sampai setahun. Artinya penanganan korban juga menuntut pengawasan jangka panjang, karena sewaktu waktu kondisi korban yang sangat membutuhkan perhatian.

Penulis adalah Jasra Putra, Kadivwasmonev Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)